Ada sebuah fenomena yang terjadi di
tengah masyarakat Dataran Tinggi Dieng yang sampai sekarang tak dapat dijelaskan
secara ilmiah. Fenomena tersebut adalah adanya anak-anak yang berambut gimbal.
Atau lebih tepatnya, tumbuhnya rambut gimbal atau gembel pada sebagian anak.
Para orangtua yang memiliki anak
berambut gembel, akan mengadakan ruwat potong rambut gembel secara mandiri,
atau mengikutsertakan anak mereka dalam ruwatan secara massal. Ruwatan ini
bertujuan untuk menghilangkan sukerta atau marabahaya yang ada pada anak
berambut gembel. Proses ruwatan dilakukan dengan pembacaan doa-doa seperti
shalawat sebagai ungkapan rasa syukur kepada Tuhan.
Kemunculan rambut gembel pada anak,
biasanya diawali dengan suhu badan yang naik seperti gejala demam. Tidak ada
gejala-gejala fisik lain yang muncul saat itu, selain demam. Setelah demam
turun, rambut anak akan mulai saling menempel menjadi rambut gembel atau
gimbal. Rambut gembel ini biasanya muncul karena faktor genetik atau keturunan,
dimana orang tua yang dulu pernah memiliki rambut gembel semasa kecilnya, anak
mereka dimungkinkan ada yang memiliki rambut gembel juga.
Bagi masyarakat Dieng, upacara Ruwat
Rambut Gembel memiliki makna yang sangat sakral dalam kehidupan. Ketenangan
hati mereka akan tercapai apabila anak yang memiliki rambut gembel telah
diruwat dan dipotong rambutnya. Mereka sangat percaya, bahwa setelah anaknya
yang berambut gembel diruwat, si anak tersebut akan terbebas dari marabahaya.
Anak berambut gembel biasanya
bersikap kritis, aktif atau kadang menuntut agar permintaannya dituruti melalui
“bebana” manakala yang bersangkutan akan dipotong/diruwat gembelnya.
Sebagian masyarakat juga mempercayai
bahwa anak-anak berambut gembel merupakan keturunan Kiai Kolodete yang diyakini
merupakan leluhur masyarakat Dieng yang konon juga berambut gembel, dan
mempunyai kesaktian yang luar biasa. Sehubungan hal ini, maka ruwatan harus
dilakukan dengan nilai-nilai kesakralan adat tradisi yang berlaku di masyarakat
setempat.