Harlah ke-3 Majelis Sorban Wali |
Sebagaimana bertepatan dengan Sabtu
malam Minggu, (26/2/2022) Majelis Masyarakat Sorban Wali memanjatkan rasa
syukur atas terselenggaranya forum dengan menapaki tahun ketiga atas berlangsungnya
majelisan. Bisa berkesempatan tabarukan adalah berkah tersendiri ketika
mangayubagya sampai Lobang, Sangubanyu, Kecamatan Bawang, Kabupaten Batang.
Saya merasa kagum dan bersyukur
ketika mendengar cerita dan ungkapan dari para salikin yang sedang
menapaki jalan suluk Sorban Wali tersebut disetiap forumnya selalu mengaji,
mengkaji kitab dari Mbah Sholeh Darat Semarang, yang tersebar di beberapa suluk
seputar Batang ini.
Sebab merasa seperti nyambung dan
dipikiran langsung terpantik ingin bertanya mengapa kitab Kiai Sholeh Darat?
Sebagai penulis yang senang membaca, belajar dan bertahap ingin menyelami dari
pemikiran beliau seakan satu frekuensi mendengar ada forum kajian dari karya
Ulama Nusantara. Tidak hanya itu juga ketika saya tanya lebih dalam kepada
salah satu jama'ah ada kajian kitab lain dengan meneruskan kitab yang pernah
dikaji di majelisan sebelumnya. Disambung dengan diskusi tema apapun yang
kontekstual menjawab zaman.
Ada makam-makam yang seseorang
selalu kangen untuk menyowaninya. Entah seminggu sekali, sebulan sekali, atau
bahkan setiap hari. Kekangenan terjadi karena perjalanan batin seseorang itu
ada dalam rangkaian, mirip, atau bahkan sama dengan suluk-perjalanan sang
sahibul makam.
Hal ini pun berlaku juga bagi
orang-orang tertentu yang sangat gemar membaca karya-kitab atau mendengarkan
manaqib wali tertentu. Sehingga berarti memang diperjalankan di suluk-jalan
yang dahulu pernah ditempuh oleh sang wali atau ulama’ tersebut dalam
penuh-seluruhnya.
Ketika pertama kali mendengar atau
membaca terkait dengan "Sorban Wali" yang teringat dipikiran atau
terlintas yaitu cerita tentang Aji Saka. Dimana kita mengenal Aji Saka, yang
memulai sebuah peradaban baru dari sebuah desa, yang digambarkan sebagai "tanah
seluas sorban", kemudian waktu ditarik ternyata dapat menutupi tanah
sepanjang sorban yang nyatanya luas.
Mengenai hal semacam ini semoga
Sorban Wali bisa panjang perjuangannya, tetap beristiqomah dalam meneruskan
perjuangan para leluhur masa lalu, dari tahun pertama, kedua, ketiga hingga
tahun-tahun berikutnya. Berangkat dari
masa lalu untuk masa depan,
Karena diri yang kurang baik atau
diri yang beruntung di masa depan adalah buah dari seberapa banyak biji
kebaikan yang kita tanam saat ini. Seperti ungkapan “Annihayah arruju'u ilal
bidayah”, puncak, tujuan atau tingkatan yang tinggi adalah kembali mengulang- merefleksi
menuju permulaan. Sehingga kita tidak bakal lepas dari para pendahulu dan akan
selalu nyambung menjadi sebuah kebulatan yang utuh.
Pada milad ke-3 malam itu
berlangsung gayeng-regeng, guyub rukun tandang gawe meski hujan
turun gerimis ritmis menyertai ketika acara dimulai. Sholawatan, umbul dungo
istighosahan dilangitkan. Sepatah dua patah kata sambutan dari shohibul bait
disampaikan hingga disambung dengan acara diskusi atau sinau bareng merespon
tema harlah malam itu dengan tajuk “Berjalan bertongkatkan adat bertindak
beralaskan sejarah untuk menghadapi peradaban baru”.
Beragam respon disinggung malam itu,
berangkat dari cerita pengalaman yang ada di Wonosobo oleh teman-teman yang
gemar blusukan ke makam, kuburan,candi atau situs cagar budaya. Misalnya ketika
berziarah ke suatu desa Pungangan, di desa tersebut terdapat makam yang
disepuhkan.
Yaitu makam Kiai Pungang, Kiai
Tawisara, dan Kiai Pakem. Beliau-beliau ini yang membabat desa Pungang yang
masuk wilayah Kecamatan Mojotengah, Wonosobo dengan peran dan bidangnya masing-masing.
Ada yang bertugas membuat infrastruktur, ada yang bagian pertanian-peternakan
dan sebagainya yang intinya berkaitan dengan pemberdayaan desa atau tata
pemerintahan. Serta ada bagian agamawan atau kiai yang mengayomi. Pola tiga
tokoh yang disepuhkan ini juga terkait dengan desa disekitarnya. Jadi di
masing-masing desa bakal memiliki tokoh yang disepuhkan dengan peran dan bidang
yang sama, intinya kemaslahatan ummat.
Nama desa adalah salah satu prasasti yang tidak bisa dijajah dan digerus oleh walanda sehingga ketika kita mengkaji nama desa dari segi toponimi tentu bakal nyambung dan memudahkan menggali sesuatu yang tertanam dan keilmuan pada sebuah nama desa. Pun nama-nama tokoh yang membabat atau yang disepuhkan juga memiliki makna juga, dan malah bisa terkait dengan ahwal atau tingkatan suluk dari sang tokoh tersebut entah trah, nasab dan sanad.
Gayung bersambut saling melengkapi
dan menanggapi pada kendu-kendu rasan miladiyah Sorban Wali kali itu, ada yang
bercerita tentang keilmuan pertanian terutama yang diwariskan oleh para leluhur
dahulu. Dari segi cara menanam sampai panen dan cara menyikapi hama tanaman.
Salah satu jamaah Majelis Sorban Wali, Mas Catur yang telah tandang dan
melakukan keilmuan pertanian ini. sudah terbiasa membuat ramuan obat herbal
maupun pupuk untuk tanaman agar tatanan tanah bisa kembali seperti semula tidak
rusak digerus pupuk kimia.
Lain lagi dengan pembahasan yang
semakin malam tambah menarik, namun karena waktu yang terbatas majelisan harus
diselesaikan. Dipungkasi dengan doa dan pemotongan tumpeng tanda malam itu rasa
syukur dipanjatkan atas tiga tahun melingkar ngaji bareng. Sebelum dipungkasi
ada penyerahan secara simbolik pusaka keris dan launching buku yang ditulis
dulur-dulur Sorban Wali terkait dengan sejarah Batang, semoga bakal menjadi
salah satu rujukan dalam menyusun rencana pembangunan di Batang itu sendiri.
Mabruk untuk Suluk Sorban Wali! Matur nuwun.