Pada sebuah wilayah ada cerita menarik dan terus menerus diwariskan oleh para penduduk desa tersebut. Getok tular sambung menyambung menyimpan pesan makna yang ditelurkan para pendahulunya.
Masyarakat tersebut terus menjaga api agar selalu menyala. Puji-pujian kepada Kanjeng Nabi dan luapan syukur kepada Gusti Allah masih senantiasa dilangitkan. Anak kecil-remaja silih berganti berbondong-bondong menuju langgar, mengaji bermain bersama kawan sepantara. Tradisi-tradisi kebudayaan pun dilanggengkan pada setiap momentum tertentu.
Kita tidak bisa mengira siapakah "wali backpacker" itu, yang telah berperan melantunkan adzan 200-an tahun yang lalu yang mengajarkan kebaikan untuk mengetahui kesejatian diri. Hanya saja menjadi menarik ketika penduduk tersebut akan meneruskan perannya dengan wasilah: ngaji di pesantren atau gelanggang kawah candradimuka keilmuan bakal tidak mampu atau malah ditugaskan bukan di wilayah tersebut, tetapi merantau di sebuah wilayah yang lain.
Malahan yang bertugas menyerukan dakwah dari wali tersebut adalah pendatang perantauan diluar wilayah tersebut. Apakah ini sebuah kebetulan? Atau memang wilayah tersebut telah dibatasi kapasitasnya bahwa dalam ruang lingkup cakupan berapa penduduk zaman dulu ada kesepakatan-kesepakatan yang memang itu bagian dari kultur wilayah pada masa lalunya. Kalau penduduk wilayah tersebut akan merubah dan melanjutkan tatanan baru yang lebih baik lagi? Ya bertirakat melebihi pendahulu yang telah membabat wilayah tersebut.