Setelah tujuh belas hari berburu dan meramu mengurusi hal-hal di kampus, juga menemani kawan penelitian tentang pengajian di sebuah wilayah masih masuk Kota Semarang ini.
Sowan beberapa narasumber yang menjadi “pentolan” dalam majelis tersebut, hinga pada hari ketiga dari rono-rene mlipir ke desa tersebut yang dijangkau dari Ngaliyan sekadar dapat ditempuh tiga puluh menitan ini akhirnya mlipir nderek langkung sebentar sowan ke makam yang di-sepuhkan oleh masyarakat tersebut.
Orang sekitar menyebutnya dengan mbah Demang Sanjoyo, sesuai dengan tulisan penanda yang ada pada makam yang terpisah dari kuburan umum desa tersebut. Dengan nisan dan kijing khas kayu motif ukiran dan model semarangan, namun terlihat baru. Menurut salah satu warga yang kami temui, bahwa Mbah Demang Sanjoyo merupakan sosok leluhur yang membuka desa tersebut. Masyarakat sekitar pun masih ada kegiatan rutin haul dan nyadran di setiap bulan Rajab.
Tidak hanya mbah Demang Sanjoyo, juga ada makam mbah Jenggot yang berbeda lokasi malahan dekat dengan wilayah Perhutani, didekat desa itu pun juga ada makam Mbah Sucen dan ada mata air yang masih digunakkan oleh masyarakat sekitar dalam mencukupi kebutuhan sehari-hari warga, biasa disebut dengan mata air “sucen” sesuai dengan toponimi dari pembabat wilayahnya.
Kembali pada mbah Demang Sanjoyo yang merupakan utusan dari Demak menurut cerita yang beredar di wilayah tersebut, sebagaimana kami dikasih informasi dari salah satu warga desa Wonoplumbon, Mijen, Kota Semarang ini. lokasi makam yang sejuk dikelilingi pohon jati dan beberapa pohon ringin, belum banyak data yang kami tanyakan, masih banyak waktu dan informasi yang perlu digali dan dikembangkan sesuai dawuh: pembimbing! Hehe
Wallau a'lam bisshowab..