Selain menjaga ikatan batin dengan
penjaga wilayah dengan melanggengkan kiriman doa dan firman-firman Tuhan, sampai
yang pasti mengingat haul disetiap tahunnya. Tetapi berangkat dari acara apapun
yang biasa digelar di suatu desa atau wilayah secara terus menerus akan menjaga
ikatan tersebut. Sebagai keterikatan dengan para pembuka wilayah serta
perantara dari Tuhan untuk menjaga keseimbangan wilayah.
Apabila ada perdebatan tahun dan
nama yang benar, sebenarnya lebih utama mempercayai yang sudah turun temurun
dijaga dan disampaikan di suatu tempat, misal ketika ada sesepuh desa
menceritakan yang sanad ketersambungannya dari leluhurnya dan bisa dijaga dan
dipertahankan sampai sekarang, dari pada menghadirkan dari entah berantah yang
nantinya malah lebih kurang tepat misal dengan jalur “spiritualan”.
Sebab jika diruntut nantinya akan
menjadi kurang tepat, sang sahibul makam atau wali yang menjaga disebuah
wilayah memiliki nama, asma menyesuaikan tahapan perilaku selama hidup, dari
asma nanti ketika telah pada tahapan tertentu maka bakal disematkan jeneng, nah
jeneng inilah yang kadang menjadi toponimi menjadi nama sebuah desa atau
tempat menyesuaikan pembuka wilayahnya.
Fokus penulis di atas bukan membahas
tentang toponimi suatu daerah, namun adalah bagian agar kita berhati-hati
dengan keputusan-keputusan yang gegabah dan mempercayai seseorang karena
eksistensi ketokohan dan kurang kapasitasnya dalam sebuah hal ketika
berkomentar atau memperkenalkan tentang suatu punden, makam, atau tokoh suatu
wilayah.
Selain menjadi kurang tepat tentunya
bisa menjadi pemblawuran sebuah tempat, karena menang ketenaran, sehingga pesan
yang disampaikan dari leluhur masa lalu yang memang sebenarnya sudah dititahkan
untuk anak cucu wilayahnya dan pemegang kuncinya ya dari wilayah tersebut.