Di sebuah wilayah berada di lereng
gunung Sindoro terdapat makam kuno oleh masyarakat sekitar dipercaya sebagai
makam pendiri wilayah tersebut. Ada 3 tokoh yang menjadi cikal bakal desa ini, Mbah
Kiai Gembleng, Kiai Wanabadra, dan Kiai bakung.
Makam Kiai Gembleng dicirikan dengan
sebuah makam yang diatasnya terdapat batu memanjang yang kala itu masih ada
corak atau tulisan arab pada batu sebelum seperti sekarang ini yang sudah di
renovasi diberi cungkup. Makam Mbah Kiai Bakung tak jauh dari pusara makam Kiai
Gembleng, tepatnya berada di bawah pohon beringin besar diperkirakan sudah
berumur ratusan tahun dengan di cungkup bilik seperti rumah dan di beri kain
putih mengelilingi makam. Hawa dingin menyeruak bersama harum kembang mawar tak
lepas dari tempat ini dan yang terakhir makam dari Kiai Wanabadra.
Menurut cerita turun temurun di
masyarakat memang tiga tokoh ini merupakan yang membabat, mbubak wilayah
desa ini dengan peran keahlian masing-masing. Misalnya Kiai Gembleng dengan
mengajarkan ilmu agama serta ilmu kanuragan dan Kiai Bakung serta Kiai Wanabadra
dengan keahlian tata kelola infrastruktur dan tatakenegaraan.
Nah, nama wilayah desa itulah yang
kemudian bernama Gemblengan dengan diambil dari tokoh yang membabat wilayah
tersebut. Ada versi lain diambil dari kata Gembleng atau tempat penggemblengan,
penggodokan ksatria,tempat berlatih perang para pasukan Diponegoro pada saat
itu dibuktikan dengan tabah lapang luas yang sekarang menjadi lapangan desa.
1980-an sebelum menjadi lapangan
seperti sekarang ini, dulu sudah ada tanah lapang dan diatas tanah lapang
terdapat tempat yang masyarakat menyebutnya dengan kuburan kewan (hewan). Jadi
jika dikaitkan dengan beberapa cerita Ada beberapa jalur yang menghubungkan dengan
wilayah Gemblengan. Yaitu dari sisi utara dengan jalur menuju Batang kemudian
ada jalur Bedakah, Jalur Kalikuning, dll yang pada saat itu Gemblengan menjadi
pusat wilayah transit jika akan menuju lewat jalur tersebut. Serta menjadi
jalur sutra perdagangan dibuktikan dengan penemuan kuburan orang tionghoa.
Pada era kolonial Belanda pun wilayah
ini juga menjadi tempat menanam teh, meski yang dihasilkan tidak sebanding
dengan perkebunan di lain tempat tetapi bukan itu yang dimaksud oleh Belanda,
yang dimaksud wilayah ini menjadi wilayah yang ‘berbahaya’ maka perlu diawasi. Dengan
adanya perkebunan teh ini memudahkan Belanda untuk mengecheck setiap
waktu. Di wilayah itu pun juga ada bernama Gajihan yang berarti pada saat itu
wilayah tersebut menjadi tempat menggaji
karyawan teh.