Sebelum NU berdiri pada tahun 1926 di Surabaya, KH. Abdul Wahab Hasbullah bersama para Ulama lainnya telah mendirikan Madrasah Nahdlatul Wathon dengan pimpinan KH.Ridwan Abdullah. Nahdlatul Wathan merupakan upaya Kiai Wahab dan kawan-kawan untuk mengkader para pemuda secara keilmuan dan menumbuhkan rasa kebangsaan yang kuat di dada para pemuda melalui pendidikan.
Dari misi besar tersebut, terciptalah syair Ya Ahlal Wathan yang kini kita kenal dengan Ya Lal Wathan. Yang menjadi lagu wajib sebelum memulai pelajaran di kelas. Sistem pembelajaran saat itu, sudah diperkenalkan sistem klasikal. Madrasah ini, mendapatkan legitimasi hukum dari pemerintah Hindia belanda pada tahun 1929.
Kiai Wahab kemudian secara spesifik menyusun kurikulum pendidikan Nahdlatul Wathan Melalui Jam’iyah NU gagasan Kyai Wahab Hasullah mendirikan Madrasah Nahdlatul Wathon, kemudian di berbagai tempat berdiri Madrasah dengan nama yang berbeda, namun diakhiri dengan Wathon.
Misalnya Subbanul Wathon, Hidayatul Wathon, Farul Wathon dan beberapa Sekolah yang berafiliasi ke Nahdlatul Wathon. Di daerah Jawa timur berpusat di Surabaya,sedangkan di daerah jawa Tengah di Jumblangan Kidul Semarang, sementar di Banten berpusat di Menes di Madrasah Mathla’ul Anwar (lihat sejarah NU, KH.Abdul Halim Leumunding).
Mencermati gagasan Kyai Wahab yang bersambut diberbagai tempat, Sayid Ibrahim beserta ‘Ulama lainnya di Wonosobo setelah mendeklarasikan berdirinya NU Wonosobo pada tahun 1931 M pasca Muktamar NU ke 6 di Cirebon mengambil dua langkah strategis sebagai bentuk konsolidasi ‘Ulama Ahlussunnah wal Jama’ah. Pertama adalah mensosialisasikan Jam’iyah NU di seluruh penjuru Wonosobo.
Dalam upaya ini, langkah yang diambil Sayid Ibrahim dan lainnya adalah melalui jalur Thariqoh. Upaya ini dipandang efektif, terbukti di tahun 1936 NU Wonosobo telah memiliki anggota ribuan jumlahnya.
Salah satunya adalah atas nama Muhammad Sa’idun dari Desa Kreo Kecamatan Kejajar Rosyidul ‘Udhwiyah (nomor anggota) 1526. Tempat ini adalah menjadi sebuah keniscayaan menjadi warga NU sebab daerah Kreo masa lalu adalah pengikut thariqoh Sathoriyah dengan mursidnya Sayyid Ibrahim.
Kedua di tahun 1932 an dengan berbagai upaya NU Wonosobo memiliki tanah secara swadaya yang pada gilirannya di jadikan kantor NU Cabang Wonosobo. Bukan hanya itu, bahkan langkah berikutnya didirikan Madrasah Nahdlatul Ulama Wonosobo dengan Guru guru antara lain Sayid Ibrahim, Ustadz Abu Ja’far, Sayid Hasan Assegaf, Sayyid Muhsin Ba’abud yang kesemuanya adalah pengurus inti Syuriah NU Cabang Wonosobo.
Madrasah ini mendapatkan respon yang positif dari masarakat, hal tersebut dibuktikan dengan banyaknya murid yang belajar di Madrasah Nahdlatul Ulama. Nama ini memang berbeda dengan Nahdlatul Wahon, atau Hidayatul Wathon, namun kurikulum dan model pembelajarannya sama dengan madrasah yang didirikan Kyai Wahab dan Ulama lainnya.
Madrasah ini membuka enam jenjang kelas, yaitu. Para murid di sifir awal dididik untuk bisa menulis Arab, menyusun kalimat Arab, dan membaca Al-Qur’an. Untuk tahun berikutnya mereka bisa menjadi murid sifir tsani dengan mata pelajaran sama dengan sifir awal namun lebih luas. Sedangkan murid sifir tsani dipersiapkan untuk memasuki madrasah empat tahun berikutnya, mulai dari kelas satu hingga kelas empat (tamat).
Mata Pelajaran yang diajararkan di kelas 1 adalah menulis halus (Arab), menyusun kalimat dan membaca Al-Qur’an,Tajwid , menghafal tuntunan agama dalam bahasa Jawa. Mata pelajaran kelas II sama dengan kelas I hanya lebih mendalam dan ditambah mata pelajaran Nahwu-Sharaf (gramatika Arab), Tauhid (teologi), Hisab (ilmu hitung), dan membaca kitab.
Kelas III sama seperti kelas II, namun lebih mendalam lagi. Adapun kelas IV sama dengan kelas III ditambah mata pelajaran ilmu bumi (geografi).Madrasah ini, oleh para santri dan masarakat disebutnya sebagai Sekolah Arab (dihimpun dari wawancara). Selain madrasah dengan enam jenjang kelas tersebut, madrasah Nahdlatul Ulama juga membuka kelas yang sama, tetapi aktivitasnya berjalan sore hari.
Madrasah sore ini dikhususkan bagi anak-anak yatim dan anak-anak dari kalangan du’afa. Menyajikan kurikulum dan metode yang sama sekali baru saat itu, Madrasah NU mendapatkan animo yang luar biasa dari masyarakat di Wonosobo. Walaupun jumlah tertulis sulit untuk dilacak, namun setidaknya dari pengakuan seorang alumni Madrasah NU di tahun 1934 an sudah memiliki siswa ratusan.
Dalam mengembangkan Madrasah NU, Sayid Ibrahim berupaya menyebarkan 'virus' cinta tanah air (hubbul wathan) secara luas di tengah masyarakat dengan membawa misi tradisi keilmuan pesantren. Madrasah NU kemudian ditutup pada saat pendudukan Jepang sekitar tahun 1942.
Akibat dari beberapa guru pengajar ditangkap oleh Jepang dan dimasukan ke penjara. Beberapa bulan kemudian atas upaya Kyai Wahab Hasbullah dan pengurus Konsul NU dengan diplomasinya, beberapa ulama yang dipenjara kemudian dibebaskan. Namun penjajahan fasis jepang yang telah mengoyak sendi kehidupan masarakat telah membuat jalan terjal yang tidak bisa dilalui untuk menghidupkan Madrasah NU Wonosobo.
Dipenghujung tahun 1940 di Wonosobo telah berkembang Madrasah Diniyah di daerah Binangun Watumalang yang diprakarsai oleh Ahmadiyah Lahore, pimpinan Madrasah ini adalah M. Sabitun yang ahli dalam bahasa Inggris. Pada tahun ini pula di daerah Sudagaran Wonosobo berdiri Sekolah Muhammadiyah yang dipimpin oleh ketuanya Toha.
Ketiga organisasi di Wonosobo NU, Muhammadiyah dan Ahmadiyah ini, pada tahun 1942 masa pendudukan Jepang mengadakan pengajian Selapanan, sekalipun tidak berlangsung lama (lihat buku Prof.Dr.Iskandar Zulkarnain. Ahmadiyah.....).
Spirit, Gagasan dan perjuangan mulia Sayid Ibrahim dan lainnya ini tentu harus digerakkan secara terus-menerus melalui setiap lembaga pendidikan, utamanya lingkungan NU.Upaya tersebut adalah Cinta Islam dengan berpegang teguh pada ahlussunah wal Jama’ah, cinta NU dan cinta Negara Kesatuan Republik Indonesia.
* KH. Ahmad Muzan M.Pd.I
Direktur PPs AP Fatanugraha Wonosobo.