Para leluhur mewariskan pitutur tak hanya berupa yang tersurat saja, terkadang yang tersirat juga melengkapi atau menjadi sebuah hal yang menjadi sebuah ngelmu dalam laku kehidupan. Sebagaimana dalam hidup disuruh untuk mencari, membaca, dan memahami ayat yang tertulis maupun ayat yang tak tertulis.
Lewat tradisi di bulan Suro ini leluhur mewarisi sebuah pitutur luhur dengan media bucu Gosral/Gusral. Setelah sekian taun menanyakan jati diri akan wit-witing desa yang akhirnya diberi isyarat untuk melaksanakan salah satu ritual atau kegiatan untuk nylameti desa di setiap tahunnya.
Merdi desa atau merti desa, dimana seluruh penduduk desa dengan ikhlas berkumpul melakukan laku tirakat mujahadah, pada malam tanggal tiga bulan suro tepatnya. Seluruh warga berdoa untuk "ngumbah desa" mengirim doa untuk para sesepuh desa, khaul massal juga, membaca sholawat fatih semampunya diselingi dengan membaca ayat kursi sekian kali.
Doa dipanjatkan, bucu gosral menjadi pancer warga mengelilingi dengan duduk melingkar, air diwadah tak luput didoakan yang mana pada keesokan harinya air tersebut di siramkan mengelilingi desa oleh kepala dusun. Para warga pun juga berpartisipasi juga menyiramkan di pelataran rumah mereka, dengan selingan bacaan takbir disetiap siraman.
Tak melupakan akan kebesaran Tuhan disetiap langkah dan laku. Bucu gusral atau gosral yang dibuat berbentuk tumpeng adalah gambaran bahwa dalam hidup untuk tumuju ing pengeran ( menuju kepada Allah sebagai tempat sandaran) berupa singkong yang diparut, bisa juga disebut kokrok. Tumpeng ini disajikan dan ditata secara artistik nggunung-mengerucut terdiri dengan menyimpan pitutur luhur para leluhur.
Bucu gusral ini dibuat dengan tiga cita rasa; asin, manis, dan gurih artinya hidup ini adalah anugerah yang harus dijalani dimana urip iki mawarni-warni, bermacam macam godaan serta diibaratkan, urip kok ngene temen, memandang keadaan hidup seperti biasa saja seperti memandang bucu gusral yang tak enak dipandang sekilas.
Namun, ketika mencoba mencicipi, rasanya kok enak ada rasa asin, manis, gurih tadi. Ditambah dengan sayur mayur urap dan sambal urap artinya meski dalam laku urip ning dunya sebebas-bebasnya namun sejatinya hidup ini juga perlu mengurutkan qudrohe gusti atau meminjam bahasa dari mermaid man pada lakon spongebob, "tetaplah dijalan Tuhan nak" negesi qudrohe gusti yang tentunya memiliki jalur pakem juga untuk ngallah, menuju gusti Allah.
Klepon, jajanan pasar dan bubur abang putih pun juga menyertai ibadah atau upacara merdi desa ini. Bubur abang putih atau merah putih tentunya sarat akan makna dan simbol. Secara implisit, bubur merah putih memiliki makna sebagai lambang kehidupan manusia di dunia, yang awalnya tercipta dari ayah dan ibu. bubur putih dimaknai sebagai "bibit dari ayah" atau sebagai simbol sperma “darah putih”.
Sedangkan bubur merah sebagai simbol bibir dari ibu atau "darah merah". Keduanya dipersatukan dalam wadah sebagai simbol lahirnya manusia baru. Menjadi manusia yang firtrah suci seperti lahir kembali.
Sebagaimana untuk menjadi manusia yang setiap hari lahir kembali sebuah proses menjadi manusia yang “me-Muhammad”, dalam arti bahwa Kanjeng Nabi Muhammad adalah manusia biasa, namun dia adalah permata atau yakut diantara batu-batu lainnya. Muhammadun basyarun lakal basyar bal huwa kal yakut. Hal ini menjadikan sebagai pelecut semangat untuk bisa menempa diri menjadi manusia Muhammad, berusaha “me-Muhammad-kan” diri. Linnabi lahumul fatihah..