• Jelajahi

    Copyright © Wonosobo Media
    Wonosobo Media Network

    Iklan

    Membaca Tari Lengger Dari Sudut Pandang Peradaban Ngeksintara Hingga Ngeksiganda

    , 08.00 WIB
    KedaiKlenik | Madu Murni Indonesia

     

    Salah satu grup atau rombongan tari Lengger dan kuda kepang yang masih eksis di Wonosobo, Mitra Budaya Garung.

    WonosoboMedia - Lengger secara filosofis tentunya sudah tak diragukan lagi. Baik dari olah tabuhan gamelannya hingga syair atau parikan lagu yang menyertai di setiap pementasan.

    Hingga pada makna per tarian, variasi topeng dan seluruh hal yang ditampilkan pada pagelaran kesenian tari topeng atau kerap disebut lenggeran ini.


    Lenggeran, eling marang pengeran adalah ungkapan yang kerap diungkapkan sebagai kerata basa atau frasa akronim.


    atau nanti jika dijabarkan lebih detail ada kinayakan dengan kata dasar ayak yang berarti memfilter atau menyaring, baik hal yang baik untuk menjadi lebih baik lagi, atau hal buruk menjadi hal yang baik.


    Dalam khasanah Jawa ada istilah ngeksintoro-ngeksigondo, yaitu peradaban dari Utara ke Selatan dimana peradaban ini mempunyai delegasi-delegasi dalam membangun tatanan kehidupan. 

    Meskipun peradaban Jawa ini sering dikatakan mundur karena pindah ke selatan (ngeksigondo) dari utara (ngeksintara). 


    Padahal bukan mengalami kemunduran, justru malah kemajuan. Nah lenggeran atau tari Lengger ini boleh jadi bagian dari karya peradaban Ngeksintara-ngeksiganda ini.


    Tak begitu nampak makna tersirat yang mengajak kepada kebaikan dan mengingat Tuhan.

    Jika ada sebuah perpecahan atau masalah dengan adanya pementasan lenggeran misalnya, itu bukan pada kurang tepatnya mencandera atau memandang tari Lengger beserta makna filosofinya dan sebagainya.


    Namun, terdapat oknum yang menunggangi agar terjadi dualisme misalnya atau hal lain yang kurang tepat.


    Sementara, dalam beberapa parikan atau syair dalam menyertai tari Lengger ini, kerap digaungkan: "guyub rukun tandang gawe, guyub rukun berbarengan.."


    Lain lagi setiap kumpulan atau grup tentu ada yang suka dan kurang suka. Satu sudut yang kurang suka tentu pandangan terkait pagelaran Lengger bakal menimbulkan kericuhan yang kurang mengenakkan misalnya.


    Padahal semua hal yang berbau keramaian tentu berpotensi ada hal yang kurang baik. Nah, tinggal kita menginginkan yang seperti apa bukan?


    Meskipun, menjelaskan tentang hal kepada siapa pun bagi yang menyukai tentunya hal yang tak perlu. Apalagi bagi yang membenci tentunya jelas tak percaya, meski itu dijelaskan sedetail sebab memang tak butuh penjelasan.


    Tentunya berbagai pertimbangan dan titik tengah yang diharapkan yaitu sebuah guyub rukun dalam sebuah wilayah.

    Kepuasan tersendiri ketika suatu wilayah itu telah kembali menyadari, bahwa ontran-ontran atau sebuah masalah hingga adu domba dsb itu tak penting dan tak perlu, yang paling utama guyub rukun sesarengan untuk tandang gawe.


    Nah kembali pada peradaban Ngeksintara-Ngeksiganda ini ya begitu asyik dan telesih atau rapi, jadi perlu pemaknaan dan cara pandang yang lebih jeli, dan hal ini patut untuk diwedar dan dikaji kembali. 


    Menggaris bawahi bagian yang disebut wilayah ngeksigondo yaitu Yogyakarta-Surakarta dan sekitarnya, hingga Wonosobo.

    Kemudian ngeksintara bagian wilayah pantai utara dan sekitarnya. Ngeksigondo itu arum bau harum, dan ngeksintara arume, terlihat nampak. 


    Nah, hubungan seperti ini tak bakal lepas dan akan terus bersambung, ngeksintara-ngeksigondo. Dalam hal ketatanan peradaban maupun urusan syariat, hakikat, fiqh dan tasawuf. Pola-pola tersebut akan bisa diolah kembali dan diterapkan.

    Wallahu a'lam bisshowab.***

    Komentar

    Tampilkan

    Terkini

    Yang Menarik

    +