Milad, Maulid Mulat Sarira, sebagai cerminan diri |
Milad, menjadi momentum refleksi setidaknya setiap menapak tahun per tahun usia sudah mendapat apa? Atau proses dalam diri ini telah mencapai titik mana?
Bukan mendapatkan atau pada posisi yang urusannya dengan jabatan, profesi atau berupa materi, namun lebih pada titik kualitas diri.
Kualitas diri ini bisa menjadi patokan atau pijakan, perilaku, laku diri ini merosot semakin bisa menjaga sifat layaknya menjaga nilai manusia.
Atau malah merosot pada sifat hewaniyah yang ada dan terkekang dalam diri masing-masing.
Dua hal yang menjadi jamak lumrah dalam menyambut hari kelahiran, pertama ritualisasi rasa syukur atas segala Rahman Rahim yang telah terlimpahkan.
Kedua yaitu momentum refleksi, mawas diri, berproses memperhatikan apa yang telah diperbuat terutama untuk hari ini dan mendatang.
Momentum milad bertepatan masih suasana maulid, ngalap berkah, ndepe-ndepe gondelan kanjeng nabi. Atau bahasa yang lebih familiar yaitu, ora iso ora nek urusane karo Kanjeng Nabi.
Berakar dari nama sendiri sudah dicap stempel asma Kanjeng Nabi, ora iso ora seperti ketiban sampur untuk selalu menjaga nilai arti nama "Muhammad" ini.
Lalu terbayang, diposisi seperti apakah diri ini telah sesuai seperti stempel yang disematkan dalam nama ini?
Stempel berikutnya masih sama, nama yang menjadi sinonim dari kata sebelumnya. Kemudian kata lanjutannya juga sama.
Jadi tiga kata ini seperti nama yang ditautkan dari satu kata menjadi sebuah tafa'ulan dan tabarukan yang mengambil titik senantiasa menjadi baik, dan menjaga nyala api akan kebaikan.
Mulat sarira, mulat salira seperti konsep kebulatan dalam proses hidup. Mulat Sarira merupakan konsep untuk sadar, ingat, dan kembali, menemui (bukan menemukan) diri yang sejati.
Refleksi, muhasabah atau membaca dalam ke-dirian, tentang diri ini bagaimana, sifat dalam keseharian sudah selaras kah dengan nama yang disematkan? Apalagi ketiban nama Kanjeng Nabi.
Namun, menjadi ingat dari kalimat yang kerap diungkapkan, bahwa pada dasar ukuran minimal yaitu golek pantes.
Sehingga nantinya bakal menjadi nyaman, baik golek pantes sebagai menantu atau golek pantes hingga golek pantes dalam hal apapun sampai sebagai ummatnya kanjeng nabi.
Hal ini menjadi rasa syukur, tasyakuran yang diniatkan sebagai upaya melakukan internalisasi nilai-nilai.
Menanam kembali benih-benih ilmu yang pernah dibaca, didengar, dirasa oleh indera ini dalam tanah kesadaran kita. Wallahu a'lam bisshowab.
Wonosobo, 21 September 2024