Dialog Budaya di Merti Bumi Festival Igirmranak dan Pawai Obor, Bagian dari Refleksi Diri |
Wonosobo Media - Selepas waktu isya selesai, panitia beserta masyarakat Igirmranak Kejajar Wonosobo sudah mulai mempersiapkan gelaran Merti Bumi Festival atau Igirmranak Fest ini.
Sela beberapa saat, setelah persiapan matang, terdengar lantunan Gending Manyar Sewu menyertai para penari yang akan pentas malam itu bersama warga Igirmranak membawa obor menuju panggung utama.
Setapak demi setapak mengikuti ritme alunan gamelan yang syahdu dan ritmis, langkah kaki melaju dengan kompak dari masing-masing peserta pembawa obor tersebut.
Nampak keindahan obor api menyala secara bersamaan, suasana khusyu' pun timbul seketika. Seperti topo bisu (red:diam tidak berbicara) bagian dari suluk perjalanan yang bisa dimaknai sebagai refleksi atau muhasabah diri.
Jadi selama perjalanan dengan membawa obor ini bisa dimaknai sebagai bagian dari diri ketika mengolah diri.
Bagian dari proses fokus pada titik tujuan dengan meraba hal yang buruk untuk diperbaiki.
Serta dengan penuh kehati-hatian melangkah lebih baik, atau jika mengambil dawuh Kanjeng Nabi seperti ibarat berbicara baik atau lebih diam.
Dimulai dengan berproses mengolah benar-salah, nanti melangkah ke tahap berikutnya bener yang pener sampai pada nilai kebijaksanaan yang tepat dalam menghadapi sesuatu.
Nah nantinya juga diselingi dengan doa-doa dan harapan serta rasa syukur kepada Tuhan, serta luapan katresnan kepada Kanjeng Nabi.
Setelah sesi ini selesai, pada Igirmranak Fest tersebut disambung dengan penampilan menarik dari beberapa grup tari yang menyertai pentas tersebut.
Bahkan salah satu penampilan yang menarik malam itu, hadir dari Magelang, yaitu Tari Soreng dari Padepokan Wargo Budoyo Magelang turut mangayubagya Igirmranak Fest.
Menyapa para penonton yang hadir dan antusias malam itu, serta menceritakan alur cerita atau kisah yang diangkat dari tari Soreng ini sendiri.
Menurut salah satu ketua rombongan tersebut mengungkapkan bahwa cerita tari Soreng sendiri diangkat dari kisah Aryo Penangsang. Cerita ini dekat dengan kisah daerah Demak-Cepu dan sekitarnya.
Meskipun begitu malahan nyatanya kesenian ini lebih berkembang di daerah Magelang, tepatnya di lereng gunung Merbabu dan gunung Andong.
Selepas pernampilan tari-tarian, Igirmranak Fest ini semakin malam semakin asyik. Meski suasana dinginnya di lereng Gunung Prau ini semakin terasa.
Namun nampak raket, gayeng dan hangat selain memang terdapat api unggun diantara para penonton yang hadir.
Juga memang antusias para penonton yang hadir tersebut nampak gembira dan hangat sembari menyaksikan perform dari beberapa band penampil hingga nanti pada sesi menerbangkan lampion secara bersamaan.
Dialog Budaya di Merti Bumi Festival Igirmranak Kejajar Wonosobo
Sebelumnya di sore harinya juga telah dilaksanakan "Dialog Budaya" bersama Tanto Mendut.
Sapaan akrabnya Mbah Tanto ini menemani para hadirin dengan menceritakan banyak hal akan desa-peradaban.
Serta diajak berimajinasi perjalanan peradaban di lintas negara, candi-candi hingga podcast-podcast.
Dengan diselingi musik bundengan, sehingga menambah syahdu dan larut, bagi yang menyimak memang harus seksama agar lebih merasuk mancep dalam pikiran bahkan hati.
Kepala Desa Igirmranak mengungkapkan, Merti Bumi ini berawal dari keprihatinan terkait dengan lingkungan.
"Bagaimana caranya untuk melestarikan lingkungan itu dengan pola zaman dahulu, cara nenek moyang kita sudah memberikan contoh yang baik, terkait dengan pengolahan lahan dan sebagainya."Ungkapnya.
Seiring waktu dengan perkembangan zaman yang saat ini cenderung sedikit meninggalkan adat istiadat yang ada.
Tafrihan selaku Ketua Igirmranak Festival ini juga merespon dengan menceritakan peristiwa ys g melatarbelakangi acara Merti Bumi Festival di Igirmranak ini.
Dengan bercerita jauh kebelakang dengan mengawali dan menginisiasi beberapa acara terkait lingkungan di daerah Dieng dan sekitarnya.
Pernah, saking prihatinnya dengan adanya peristiwa air yang agak susah dan sumber air yang mengering, hutan menjadi kawasan produksi dan hutan lindungnya hilang.
"Kami bareng teman teman di kawasan Dieng mencoba membuat dan membangkitkan wisata yang mati ini dengan kegiatan Pekan Budaya Dieng." Tutur Tafrihan.
Membuat acara yang sedemikian rupa dengan bermodal swadaya, namun tetap berlangsung kala itu.
Dari Komunitas Lima Gunung, Hari Atmoko juga menceritakan tentang perjumpaan bisa guyubi di Komunitas Lima Gunung.
Berawal dari profesinya yang kebetulan menjadi jurnalis.
"Saya beruntung saja ditugaskan Magelang dan semoga sampai selesai." Tandas Hari.
Temuannya terkait dengan Komunitas Lima Gunung, yang awalnya itu hadir di kegiatan komunitas sebagai wartawan yang hanya liputan.
"Lalu waktu berlalu semakin masuk dalam lagi ikut rapat dan berkomunikasi dengan Pak Tanto Mendut, bahkan sampai terakhir di Festival Lima Gunung juga ikut pentas wayang orang yang dipentaskan oleh KLG sendiri." Ungkapnya merasa bangga dan gembira.
Semakin sore "Dialog Budaya" di Merti Bumi Festival di Igirmranak Kejajar Wonosobo ini makin hangat dan padat, banyak ide-ide yang didiskusikan.
Tidak terasa diskusi yang berlangsung sampai 2 jam ini saling melengkapi, membawa obor penyemangat dan menguatkan.
Bagi yang menyimak menjadi energi tersendiri yang bakal di bawa pulang sebagai penyemangat dalam mengaplikasikan dalam bidangnya masing-masing dadi obor api Merti Bumi Festival di Igirmranak ini.***