Tari Lengger: Sebuah Ungkapan Katresnan Kepada Kanjeng Nabi |
“Mugo mugo Allah Rohmat Maring nabi, mugo-mugo Allah paring nabi ya Allahu paringo, paring Rohmat kelawan salam.”
Wonosobo Media - Parikan atau syiir di atas yaitu salah satu cakepan yang kerap dilantunkan ketika Tari Lengger Wonosobo pentas dengan topeng “mugo-mugo”.
Seperti mengungkapkan doa dan harapan, serta bagian dari rasa katresnan, kecintaan kepada Kanjeng Nabi.
Sholawat Emprak sebagai role model Tari Lengger
Dalam beberapa cakepan, parikan atau syiir yang dilantunkan menyelingi alunan gamelan Tari Topeng Lengger Wonosobo sendiri terdapat kutipan dari sholawat emprak.
Meskipun secara keseluruhan syiir tersebut tidak benar sama dalam kutipan sholawat emprak, namun secara motivasi syiir atau parikan dalam lenggeran di Wonosobo ini, pijakannya mirip dengan sholawat emprak.
Atau bisa disebut role modelnya berpijak dari sholawat emprak khas Mataraman, baik dari syair nya hingga karakter cara melantunkannya.
Sholawat emprak sendiri merupakan sholawat khas Jawa Mataram yang menggambarkan kecintaan kepada Kanjeng Nabi Muhammad dituangkan menjadi sholawat emprak beserta tariannya.
Selain, menukil dari sholawat emprak, dalam parikan tari Lengger Wonosobo ini untuk parikan “jentik manis” misalnya juga ada yang dinukil dari tembang ayun-ayun.
Ayun-ayun sendiri yaitu salah satu kesenian yang masih ada di Wonosobo dilanggengkan dengan melantunkan sholawat dan syair syair syarat akan pesan dakwah.
Syaiir yang dilantunkan pun memiliki pesan kehidupan sehari-hari, akidah; seperti aqoid seket, perihal fiqh, dan pesan-pesan yang intinya mengajak kepada kebaikan.
Nah di bawah ini cuplikan dari syiir dari “jentik manis” yang terinspirasi dari kesenian ayun-ayun di Wonosobo.
“Sepiro larane wong mati, ora ono kang wibowo yen asih siro nangiso, jentik manis semanggi gunung.”
Kembali pada sholawat emprak sendiri, dalam sebuah naskah disebutkan bahwa penulisan naskah sholawat emprak itu diinisiasi oleh KRT Yudonegoro, ketika dilacak beliau ini seorang Patih Mataram, zaman HB I.
Meskipun dari era ke era terdapat tambahan tembang yang berasal dari tradisi lisan lalu bisa berkembang dari satu generasi ke generasi selanjutnya, terdapat tambahan syiir atau tembang yang asalnya dari abad ke 16.
Menurut salah satu tokoh yang mendalami sholawat emprak ini, menyebutkan nantinya tembang tersebut bisa dipetakan.
Tembang atau lirik dalam sholawat emprak tersebut ini jejak abad berapa, dan seterusnya. Pengembangan-pengembangan ini pun sifatnya dinamis.
Jika ungkapan dalam bahasa Arab Kanjeng Nabi adalah Sayyidul Arabi wal’ajamy, pemimpinnya orang arab dan ajam, atau non arab.
Nanti di dalam sholawat emprak ini dikembangkan Sayyidul ajamnya, jadi Kanjeng Nabi disebut Raja Agung Sudibyo atau Kanjeng Gusti Malikuningrat.
Jadi seperti ungkapan menggambarkan budaya Jawa, dan jika kita lebih jeli menyimaknya dan mengamati penggalan naskahnya juga bukan terjemahan.
Naskah atau syiir tembang ini asli diciptakan dalam budaya Jawa. Meskipun sumbernya berasal dari hadits atau atsar tetapi itu diungkapkan dengan bahasa Jawa.
Jadi bisa kita tangkap isinya sebuah ajaran mendekatkan umat Islam di Jawa dengan sosok kepribadian kanjeng nabi, sehingga bisa meneladani akhlaknya, meneladani ajarannya sedemikian rupa.
Sehingga kita bisa mengetahui bahwa pengenalan ajaran nabi ini secara normatif tetapi bersamaan dengan membentuk manusia Jawanya atau ke-Jawaannya.
Spiritualitas ini dalam mengungkapkannya menggunakan kegembiraan, lucu, ada seriusnya hingga tembangnya juga ada.
Nah, itu semua adalah bagian dari proses pengembangan manusia Jawa sebagai pembangunan kesempurnaan dari nilai Jawa dan Islam tanpa meninggalkan budaya Jawa.
Wallahu a’lam bisshowab.