Makam Karangsari, kampung pasarean keluarga Mbah Muntaha Al-Hafidz. |
Wonosobo Media - Berdasarkan silsilah keturunannya, dapat dilihat bahwa KH. Muntaha Al-Hafidz terhubung dengan beberapa tokoh penting yang memiliki pengaruh pada masanya.
Hal tersebut yang kemudian secara tidak langsung mempengaruhi eksistensi dan kharismanya sebagai pemimpin dan tokoh agama.
Sebagaimana runtutan latar belakang keluarga dari KH. Muntaha Al-Hafidz bahwa setelah Perang Jawa dibawah komando Pangeran Diponegoro berakhir tahun 1830.
Belanda menemukan rahasia bahwa sumber perlawanan heroik rakyat Jawa adalah pengetahuan mereka akan kandungan Al-Quran melalui para kiai.
***
Pada tahun 1830 Pangeran Diponegoro ditangkap atas tipu daya Belanda di Magelang termasuk para pengawalnya juga dilucuti.
Diantara prajurit pengawalnya yang sempat meloloskan diri dari kejaran Belanda adalah Raden Hadiwijaya dengan nama samaran KH. Muntaha Awal Bin Nida' Muhammad, yang juga memiliki guru spiritual yaitu KH. Ali Ibrahim di Jambean Kalibeber Wonosobo.
Pada tahun 1832 KH. Muntaha Awal tiba di Desa Kalibeber yang waktu itu sebagai ibu kota Kawedanan Garung.
Ia diterima oleh mbah Glondong Jogomenggolo, dengan mendirikan Masjid dan Padepokan Santri di Dusun Karangsari, Ngebrak, Kalibeber, di pinggir sungai Prupuk yang sekarang dijadikan makam keluarga kiai.
Di tempat ini ia mengajarkan agama Islam kepada anak-anak dan masyarakat sekitar. Ilmu pokok yang diajarkan adalah baca tulis Al-Qur'an, Tauhid, dan Fiqih.
Dengan penuh ketekunan, keuletan dan kesabaran, secara berangsur-angsur masyarakat Kalibeber dan sekitarnya memeluk agama Islam, atas kesadaran mereka sendiri. Mereka meninggalkan adat-istiadat buruk terlebih perihal keduniawian.
Karena Padepokan Santri lama kelamaan tidak mampu menampung arus santri dan terkena banjir sungai Prupuk maka kegiatan pesantren
dipindahkan ketempat yang sekarang bernama Kauman, Kalibeber.
Daerah selatan pesantren yang semula dihuni oleh Etnis China akhirnya ditinggalkan penghuninya, tetapi nama “Gang Pecinan” sampai sekarang masih dilestarikan.
Kiai Muntaha Awal atau Raden Hadiwijaya wafat pada tahun 1860, setelah kurang lebih 20-an tahun memimpin pesantren. Ia digantikan oleh putranya KH. Abdurrahim.
Mulai tahun 1860, KH. Abdurrahim bin K. Muntaha Awal menerima estafet tugas mulia memimpin pesantren dari ayahnya.
Sejak muda ia telah dipersiapkan untuk meneruskan perjuangan menyiarkan dakwah Islam dan memimpin pesantren.
KH. Abdurrahim bin K. Muntaha Awal juga pernah nyantri di pondok pesantren K. Abdullah Jetis, Parakan, Temanggung, bahkan ia diangkat menjadi menantunya.***