Mbah Muntaha Al-Hafidz bersama santri sedang Napak tilas perjalanan menuju ke Kaliwungu Kendal. |
Wonosobo Media - Sepak terjang dalam bidang politik, KH. Muntaha Alhafidz telah memberikan
pengaruh besar baik langsung maupun tidak langsung.
Sebagaimana ungkapanya “kalau di politik tidak ada ulama, ya bisa jomplang akibatnya”.
Jadi peran kiai di politik semata-mata hanya untuk memperjuangkan rakyat dan menegakkan
nilai-nilai ajaran Islam di sana dan hal inilah yang melatar belakangi Mun terjun dalam bidang politik.
Selain itu ia
bisa merangkul semua kalangan, bahkan dari mantan atau eks
DI TII terutama di daerah Wonosobo bagian Selatan perbatasan
dengan Kabupaten Kebumen.
Pada hal lain, sewaktu NU melalui muktamar di Palembang
memutuskan untuk keluar dari Masyumi dan berdiri sebagai
partai politik sendiri, sebagai akibat dari tindakan para politisi
Masyumi yang berasal dari kalangan non pesantren terlalu
meremehkan peran politisi dari pesantren.
Ia pun terlihat aktif
dalam memperjuangkan NU untuk berkiprah di masyarakat
bahkan sempat ditunjuk menjadi anggota Konstituante mewakili NU Jawa Tengah sampai dibubarkannya majelis itu pada
tanggal 5 Juli 1959.
Kondisi itu terus berlangsung hingga tahun 1972 saat
pemerintah orde baru menetapkan bahwa partai Islam harus
berfusi dalam satu wadah partai yaitu Partai Persatuan
Pembangunan (PPP).
Sebagai konsekuensi dari sikap Nahdlatul Ulama yang harus mengikuti peraturan pemerintah walaupun secara politik sangat merugikan NU, Mbah Mun pun ikut terlibat
aktif dalam Partai Persatuan Pembangunan.
Kondisi itu berlangsung hingga dicanangkannya kembali ke Khittoh 1926.
Setelah sekian tahun bergulat dalam tandusnya lahan politik
praktis, Mbah Mun kembali melirik kondisi pesantrennya yang terlihat belum begitu tampak kemajuannya.
Kemudian Ia memilih untuk berpolitik secara substansial yaitu menggunakan
jalur politik dengan tujuan membawa kemaslahatan umat yang
lebih banyak.
Dari perubahan sikapnya itu kemudian Ia menata pesantrennya dengan
membenahi pola pengajarannya. Bersambung.